Krakatau Posco | News & Events -

Contact
© 2019 Krakatau Posco

article thumb

Saatnya Industri Industri Baja Nasional Mandiri di Era Proteksionisme

Gelombang proteksionisme yang melanda dunia menandai perubahan besar dalam arah ekonomi global. Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang selama puluhan tahun menjadi simbol liberalisme perdagangan, kini justru menegakkan pagar tarif, kuota, dan subsidi industri atas nama keamanan nasional. Dunia bergerak dari efisiensi menuju proteksi, dari keterbukaan pasar menuju nasionalisme ekonomi. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, ini bukan sekadar perubahan lanskap, melainkan pertanda penting bahwa era pasar bebas telah berakhir. Kemandirian industri tidak akan lahir tanpa keberpihakan kebijakan, dan hilirisasi hanya akan bermakna bila disertai kemampuan melindungi pasar domestik sekaligus memperkuat ekspor bernilai tambah. Indonesia harus segera menata strategi baru—menjadikan pasar dalam negeri sebagai fondasi dan membangun daya saing global agar industrinya berdiri di atas kekuatan nasional sendiri. Dari Pasar Bebas ke Nasionalisme Ekonomi Pergeseran kebijakan perdagangan global kini terlihat jelas di dua pusat kekuatan dunia: Amerika Serikat dan Uni Eropa. Keduanya, yang selama puluhan tahun menjadi ikon pasar bebas, kini justru menegakkan proteksi atas nama keamanan nasional dan kedaulatan ekonomi. Ketika Donald Trump menandatangani keputusan yang menyatakan bahwa impor baja “mengancam keamanan nasional Amerika Serikat,” banyak pihak menilai langkah itu sebagai penyimpangan dari prinsip pasar bebas. Namun lima tahun kemudian, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menggemakan pesan serupa: “Economic security is the new foundation of our sovereignty.” Amerika Serikat dan Uni Eropa kini menempatkan security di atas efficiency, mengorbankan keterbukaan pasar demi mempertahankan kedaulatan ekonomi. Di bawah Trump, tarif bea masuk baja berdasarkan Section 232 dinaikkan hingga 50%, sementara Uni Eropa mengusulkan pemotongan kuota impor baja secara drastis dan mengenakan tarif tambahan 50% di atas batas kuota, menyamai kebijakan AS. Pengenaan tarif ini menjadi pagar perdagangan yang sulit ditembus bagi negara pengekspor baja mana pun, terlebih karena kedua kawasan tersebut juga memperkuat trade remedies, kewajiban penggunaan produk domestik, insentif investasi, serta kebijakan subsidi industri yang semakin masif. Dunia yang dulu mengagungkan pasar bebas kini beralih ke arah proteksi, menjadikan kekuatan industri sebagai instrumen kekuasaan negara.

Eropa menata ulang prioritasnya dari pasar terbuka menuju strategi ketahanan dan kemandirian industri nasional. Von der Leyen menyebutnya strategic autonomy—transformasi besar dari liberalisme pasar menuju nasionalisme ekonomi modern. Ironisnya, Amerika dan Eropa yang dulu menentang proteksi kini justru berada di garda terdepan. Mereka memperkuat kontrol negara atas industri strategis, dari tarif, subsidi, hingga pembatasan investasi asing. Dekade ini menandai akhir dari mitos bahwa efisiensi pasar adalah kunci keberlanjutan. Kini yang bertahan bukan yang paling efisien, melainkan yang paling mampu melindungi industrinya dari gejolak global. Menimbang Posisi Indonesia di Tengah Gelombang Proteksi Arah baru ekonomi global ini menghadirkan dilema bagi negara berkembang seperti Indonesia. Proteksionisme di negara maju membuat ruang ekspor semakin sempit, sementara liberalisasi yang masih longgar di dalam negeri membuka peluang banjir impor berharga murah. Tanpa kebijakan yang tegas, industri baja nasional berisiko terjepit dari dua arah: kehilangan pasar ekspor dan terdesak di pasar sendiri. Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mencatat capaian besar. Nilai ekspor baja pada 2024 mencapai US$25,8 miliar, sementara impor sebesar US$10,7 miliar, menghasilkan surplus perdagangan sebesar US$15 miliar. Namun di balik angka itu terdapat ketimpangan struktural: hampir seluruh pertumbuhan ekspor berasal dari produk stainless steel hasil hilirisasi nikel di Morowali dan Weda Bay, sedangkan industri baja karbon—tulang punggung pembangunan nasional—masih tertekan oleh rendahnya utilisasi kapasitas dan arus impor murah. Keberhasilan ekspor belum berarti kemandirian. Nilai tambah masih terkonsentrasi di segmen hulu, bukan di rantai hilir yang menciptakan lapangan kerja dan teknologi. Karena itu, arah strategi nasional harus menyatukan dua kepentingan: melindungi pasar domestik sebagai fondasi kemandirian dan memperkuat ekspor bernilai tambah tinggi sebagai sumber pertumbuhan global. Strategi pertama, memastikan kebutuhan baja nasional sepenuhnya dipenuhi produsen dalam negeri. Dengan proyeksi permintaan mencapai 100 juta ton pada 2045, pasar domestik adalah jangkar utama pembangunan industri dasar. Kedua, mempercepat hilirisasi stainless steel hingga ke manufaktur produk akhir agar ekspor benar-benar membawa nilai tambah maksimal. Ekspor Indonesia masih didominasi feronikel dan produk setengah jadi, padahal kekuatan sumber daya akan memberi manfaat penuh hanya bila diolah menjadi barang industri yang siap pasar. Namun agar strategi itu efektif, kebijakan pendukungnya harus diarahkan untuk menciptakan level playing field dan keberpihakan nyata pada produsen dalam negeri. Industri baja Indonesia selama ini berhadapan dengan persaingan tidak setara karena produk luar masuk dengan berbagai bentuk subsidi, insentif, dan dukungan kebijakan yang menekan biaya produksi jauh di bawah harga wajar, sehingga pasar nasional berisiko menjadi sasaran limpahan ekspor yang didukung penuh negara asal, khususnya dari Tiongkok. Untuk mengimbanginya, sistem trade remedies—anti-dumping, countervailing duties, dan anti-circumvention—harus dijalankan lebih cepat dan terintegrasi. Kebijakan energi, fiskal, dan pembiayaan perlu diarahkan untuk menjaga daya saing biaya produksi domestik. Harga gas dan listrik industri harus tetap kompetitif sebagai koreksi atas subsidi energi di negara lain. Pengawasan mutu juga wajib diperkuat melalui penegakan SNI Wajib dan konsistensi TKDN agar proyek publik benar-benar menyerap baja nasional. Memaknai Kemandirian di Tengah Arus Proteksionisme Ketika Amerika Serikat dan Uni Eropa menegakkan pagar proteksi atas nama keamanan nasional, pelajaran penting bagi negara seperti Indonesia adalah: tidak ada kedaulatan ekonomi tanpa kemampuan melindungi dan mengarahkan industri sendiri. Dunia kini bergerak menuju tatanan baru di mana kekuatan industri menjadi ukuran kekuasaan negara, bukan sekadar hasil mekanisme pasar. Dalam lanskap baru ini, kemandirian industri baja adalah syarat strategis untuk memastikan keberlanjutan pembangunan nasional. Pemerintah telah berhasil membangun fondasi melalui kebijakan hilirisasi, tetapi langkah berikutnya adalah memastikan agar manfaatnya mengalir ke seluruh rantai nilai domestik. Pasar dalam negeri harus menjadi benteng bagi produsen nasional, sementara ekspor mencerminkan keunggulan yang lahir dari kemampuan industri sendiri. Tidak ada satupun produsen baja besar di dunia—dari Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, hingga India—yang bertahan tanpa dukungan aktif negaranya. Dukungan negara menjadi pembeda utama dalam menentukan daya saing dan ketahanan industri baja global. Karena itu, Indonesia juga harus berani menempatkan baja sebagai bagian dari economic security nasional—sejajar dengan energi dan pangan. Sudah saatnya Indonesia menata kemandirian industrinya secara menyeluruh: melindungi pasar dalam negeri, memperkuat ekspor bernilai tambah, dan menegaskan posisi baja sebagai sektor strategis dalam pembangunan nasional.

 

Author: Widodo Setiadharmaji

Original Source:https://katadata.co.id/indepth/opini/68f05c49d33d6/saatnya-industri-industri-baja-nasional-mandiri-di-era-proteksionisme